Begitu Saja, Biar Lengkap, Kita Mati.
Diteruskan dari: Febby Makoma Pigome
_________________
Pada musim semi di tahun yang indah itu, aku berada di Meriam. Kebun-kebun penuh bunga brokoli dan ibu papuani diselimuti permadani rumput hijau seperti rahasia bumi yang dipelihatkan kepada surga.
Pohon-pohon jeruk
dan mangga tampak seperti pengantin perempuan dengan gaun-gaun putih-kuning dan bunga semerbak yang dikirim alam untuk memberi ilham para penyair dan membangkitkan daya khyal.
Musim semi indah dimana-mana, tapi lebih indah di pulau Teluk Cendrawasih. Ia adlah semangat yang berkeliaran di keliling bumi, tetapi mondar-mandir di atas pulau Teluk Cendrawasih, berpapasan dengan orang2 sang pegiat pendiam, menyanyikan kidung beranjang bersama sungai-sungai ; mengulang kembali tebaran suci pulau Teluk terhadap ingatan kejayaan dan kemegahan masa silam.
Meriam bebas
dari lumpur musim dingin dan debu pada musim semi, seperti pramugari yang duduk di tepi sungai menghangatkan kulit lembutnya pada terpaan cahaya mentari.
Suatu hari ketika matahari jatuh di tengah tebaran malam, diciptakan sebuah pagi yang cahaya mentarinya cerah dan bersinar membumi, aku mengujungi seorang sahabat yang tinggalnya cukup jauh dari keramaian kota.
Aku mengajukan
pertanyaan yang sama. Konon di kala, dua tiga tahun yang lalu pun, argumen-argumen yang pernah, dan tak sempat mengulas, dari sudut pandang mana pun itu. Tumpang tindi. Meninggi bergunung, diandainya kini.
Pada beberapa bulan lalu pun aku pernah ajukan. Walau saja aku tau, akan bertambah. Kini aku ajukan pula. Engkau diam.
Seketika itu pula
aku melihat sebuah sungai tenang tanpa sedikit gemercik sekali pun. Memang orang2 Belitung dibentuk seperti itu. Melindungi segala porandak, namanya. Walau pun inginku, kita memulai. Sebagaimana kita adlah sepulau. Dan aku tak lebih, hanya saja kita berdiskusi. Sekecil itu saja.
Di sana, di Meriam
aku menemukan tak dilayani selayak mungkin, tidak suguhkan sarapan pagi, sebagaimana aku adlah tamu. Tamu yang jika boleh, dapat dihormati. Tamu dari beda kampung rahim. Aku di dilahir dari kota, dan engkau dilahirkan ibunya dari kampung. Lengkap. Dan hal sesimpel, soal menghormati orang yang baru datang saja, hendak dilalukan serupa itu.
Apa lagi
mewarisi budayanya. Soal mengajarkan seluk beluk dirinya. Pradigma bangsanya. Atau sebatas penting menuakan anak sulung yang patut digantikan sebagai sang dikau-nya. Tapi itu sulit. Itu memang persoalan jauh lebih rumit bagi manusia seperti dikau, melankolisme.
Engkau tak mau, aku diam. Engkau diam. Kita diam. Begitu saja, biar lengkap, kita mati!
_____
Jogja, | 6 Mei 2019.
Sumber:
Akun Facebook Febby Makoma Pigome.
Diteruskan dari: Febby Makoma Pigome
_________________
Pada musim semi di tahun yang indah itu, aku berada di Meriam. Kebun-kebun penuh bunga brokoli dan ibu papuani diselimuti permadani rumput hijau seperti rahasia bumi yang dipelihatkan kepada surga.
Pohon-pohon jeruk
dan mangga tampak seperti pengantin perempuan dengan gaun-gaun putih-kuning dan bunga semerbak yang dikirim alam untuk memberi ilham para penyair dan membangkitkan daya khyal.
Musim semi indah dimana-mana, tapi lebih indah di pulau Teluk Cendrawasih. Ia adlah semangat yang berkeliaran di keliling bumi, tetapi mondar-mandir di atas pulau Teluk Cendrawasih, berpapasan dengan orang2 sang pegiat pendiam, menyanyikan kidung beranjang bersama sungai-sungai ; mengulang kembali tebaran suci pulau Teluk terhadap ingatan kejayaan dan kemegahan masa silam.
Meriam bebas
dari lumpur musim dingin dan debu pada musim semi, seperti pramugari yang duduk di tepi sungai menghangatkan kulit lembutnya pada terpaan cahaya mentari.
Suatu hari ketika matahari jatuh di tengah tebaran malam, diciptakan sebuah pagi yang cahaya mentarinya cerah dan bersinar membumi, aku mengujungi seorang sahabat yang tinggalnya cukup jauh dari keramaian kota.
Aku mengajukan
pertanyaan yang sama. Konon di kala, dua tiga tahun yang lalu pun, argumen-argumen yang pernah, dan tak sempat mengulas, dari sudut pandang mana pun itu. Tumpang tindi. Meninggi bergunung, diandainya kini.
Pada beberapa bulan lalu pun aku pernah ajukan. Walau saja aku tau, akan bertambah. Kini aku ajukan pula. Engkau diam.
Seketika itu pula
aku melihat sebuah sungai tenang tanpa sedikit gemercik sekali pun. Memang orang2 Belitung dibentuk seperti itu. Melindungi segala porandak, namanya. Walau pun inginku, kita memulai. Sebagaimana kita adlah sepulau. Dan aku tak lebih, hanya saja kita berdiskusi. Sekecil itu saja.
Di sana, di Meriam
aku menemukan tak dilayani selayak mungkin, tidak suguhkan sarapan pagi, sebagaimana aku adlah tamu. Tamu yang jika boleh, dapat dihormati. Tamu dari beda kampung rahim. Aku di dilahir dari kota, dan engkau dilahirkan ibunya dari kampung. Lengkap. Dan hal sesimpel, soal menghormati orang yang baru datang saja, hendak dilalukan serupa itu.
Apa lagi
mewarisi budayanya. Soal mengajarkan seluk beluk dirinya. Pradigma bangsanya. Atau sebatas penting menuakan anak sulung yang patut digantikan sebagai sang dikau-nya. Tapi itu sulit. Itu memang persoalan jauh lebih rumit bagi manusia seperti dikau, melankolisme.
Engkau tak mau, aku diam. Engkau diam. Kita diam. Begitu saja, biar lengkap, kita mati!
_____
Jogja, | 6 Mei 2019.
Sumber:
Akun Facebook Febby Makoma Pigome.
Comments