Sarinah menulis (May 2, 2015 at 3:01am)
Orasi saya tadi siang:
Kawan-kawan tahu, pernah ada kejadian, seorang buruh perempuan yang mengandung 9 bulan masih bekerja shift 3. Ia melahirkan di kamar mandi tanpa sepengetahuan pengusaha. Ada seorang buruh yang mengalami kecelakaan motor karena ia melihat barang yang tidak bisa ia beli di pinggir jalan. Apa itu? Itu buah anggur. Atau, ada buruh outsourcing di Batam yang upahnya hanya Rp. 800 ribu, sementara harga 1 kaos yang dia produksi harganya Rp. 1,4 juta. Kita tahu buruh menderita, kaum intelektual tahu buruh menderita. Tapi, banyak yang tidak tahu bagaimana detail-detail penderitaan buruh.
Dan, buruh dibuat untuk menderita perasaan rendah diri, perasaan inferiority complex. Dibuat berpikir bahwa menuntut itu sama dengan tidak tahu diri. Ketika buruh menuntut upah sebesar 3 juta, ia dianggap tidak tahu diri. Tapi, kapitalis tidak pernah menjelaskan berapa keuntungan perusahaan. Buruh ditakut-takuti bahwa kalau mereka menuntut maka perusahaan akan bangkrut, perusahaan akan rugi, tapi mereka tidak pernah dikasih tahu berapa keuntungan pengusaha.
Yang mereka tahu, bahwa ada segelintir manajemen yang gajinya bisa puluhan juta, pabrik-pabrik bertambah.
Memang, ada buruh yang upahnya bisa mencapai 6 juta jika ditambah lembur. Tapi ada jauh lebih banyak buruh yang upahnya sangat-sangat rendah. Kawan-kawan tahu, buruh-buruh pabrik motor, buruh-buruh pabrik mobil, atau buruh-buruh pabrik handphone yang kawan-kawan pegang sekarang ini, upah lebih baik daripada buruh-buruh yang memproduksi casing handphonennya, yang memproduksi baut-bautnya. Komponen-komponen barang itu diproduksi oleh buruh-buruh yang upahnya sangat kecil.
Tidak ada satupun hukum yang mengizinkan keuntungan perusahaan bisa dibuka pada saat perundingan. Tidak ada satupun! Mana hukum yang membolehkan buku keuangan perusahaan dibuka?!
Satu-satunya senjata buruh adalah pemogokan. Bahkan, ada kejadian di mana buruh belum mogok, kapitalis sudah memberikan tuntutan buruh, karena buruh mampu menghentikan proses produksi. Tapi, buruh tidak memahami bagaimana menghentikan proses produksi. Untuk menghentikan proses produksi, mereka harus memahami keseluruhan proses produksi. Selama, mereka hanya memahami bagian-bagian kerjanya di line-nya sendiri. Inilah yang disebut dengan alienasi, keterasingan. Buruh yang mengerjakan segala-galanya, tapi mereka tidak tahu berapa keuntungan perusahaan.
Ketika buruh memahami cara menghentikan proses produksi, mereka bisa mengontrolnya, bahkan bisa mengnentikannya.
Persatuan yang hendak kita capai adalah harus menyadari ini. Persatuan itu memiliki tujuan. Ada serikat-serikat buruh besar yang anggotanya paling banyak, yang seharusnya bertanggungjawab terhadap gerakan buruh, karena jumlah anggotanya besar. Tapi mereka selalu mundur dan menghalang-halangi buruh menggunakan kekuatannya.
Bahkan, sampai dengan buruh mau membangun partainya sendiri, inilah senjatanya. Membangun partai bukan dengan elit politik, bukan dengan Jokowi, bukan dengan Prabowo, tapi dengan kekuatan buruh sendiri. Kekuatan buruh yang utama adalah sanggup menghentika proses produksi.
Dalam lima tahun terakhir, gerakan buruh telah membesar. Kenapa begitu lama kita membutuhkan untuk membesarkan gerakan buruh? Itu karena kita pernah mengalami jaman Suharto. Budaya berorganisasi dihancurkan, ingatan perlawanan massa dihancurkan. Kondisi kita jauh lebih parah dari kediktatoran di Amerika Latin karena penghapusan ingatan ini.
Gerakan buruh yang membesar ini adalah lapangan kita untuk menuntut yang lebih besar lagi. Bukan lagi kompromi, seperti serikat-serikat besar yang sering menipu kita. Jangan mau lagi ditipu.
***
Kira-kira begitu poin-poinnya.
Orasi saya tadi siang:
Kawan-kawan tahu, pernah ada kejadian, seorang buruh perempuan yang mengandung 9 bulan masih bekerja shift 3. Ia melahirkan di kamar mandi tanpa sepengetahuan pengusaha. Ada seorang buruh yang mengalami kecelakaan motor karena ia melihat barang yang tidak bisa ia beli di pinggir jalan. Apa itu? Itu buah anggur. Atau, ada buruh outsourcing di Batam yang upahnya hanya Rp. 800 ribu, sementara harga 1 kaos yang dia produksi harganya Rp. 1,4 juta. Kita tahu buruh menderita, kaum intelektual tahu buruh menderita. Tapi, banyak yang tidak tahu bagaimana detail-detail penderitaan buruh.
Dan, buruh dibuat untuk menderita perasaan rendah diri, perasaan inferiority complex. Dibuat berpikir bahwa menuntut itu sama dengan tidak tahu diri. Ketika buruh menuntut upah sebesar 3 juta, ia dianggap tidak tahu diri. Tapi, kapitalis tidak pernah menjelaskan berapa keuntungan perusahaan. Buruh ditakut-takuti bahwa kalau mereka menuntut maka perusahaan akan bangkrut, perusahaan akan rugi, tapi mereka tidak pernah dikasih tahu berapa keuntungan pengusaha.
Yang mereka tahu, bahwa ada segelintir manajemen yang gajinya bisa puluhan juta, pabrik-pabrik bertambah.
Memang, ada buruh yang upahnya bisa mencapai 6 juta jika ditambah lembur. Tapi ada jauh lebih banyak buruh yang upahnya sangat-sangat rendah. Kawan-kawan tahu, buruh-buruh pabrik motor, buruh-buruh pabrik mobil, atau buruh-buruh pabrik handphone yang kawan-kawan pegang sekarang ini, upah lebih baik daripada buruh-buruh yang memproduksi casing handphonennya, yang memproduksi baut-bautnya. Komponen-komponen barang itu diproduksi oleh buruh-buruh yang upahnya sangat kecil.
Tidak ada satupun hukum yang mengizinkan keuntungan perusahaan bisa dibuka pada saat perundingan. Tidak ada satupun! Mana hukum yang membolehkan buku keuangan perusahaan dibuka?!
Satu-satunya senjata buruh adalah pemogokan. Bahkan, ada kejadian di mana buruh belum mogok, kapitalis sudah memberikan tuntutan buruh, karena buruh mampu menghentikan proses produksi. Tapi, buruh tidak memahami bagaimana menghentikan proses produksi. Untuk menghentikan proses produksi, mereka harus memahami keseluruhan proses produksi. Selama, mereka hanya memahami bagian-bagian kerjanya di line-nya sendiri. Inilah yang disebut dengan alienasi, keterasingan. Buruh yang mengerjakan segala-galanya, tapi mereka tidak tahu berapa keuntungan perusahaan.
Ketika buruh memahami cara menghentikan proses produksi, mereka bisa mengontrolnya, bahkan bisa mengnentikannya.
Persatuan yang hendak kita capai adalah harus menyadari ini. Persatuan itu memiliki tujuan. Ada serikat-serikat buruh besar yang anggotanya paling banyak, yang seharusnya bertanggungjawab terhadap gerakan buruh, karena jumlah anggotanya besar. Tapi mereka selalu mundur dan menghalang-halangi buruh menggunakan kekuatannya.
Bahkan, sampai dengan buruh mau membangun partainya sendiri, inilah senjatanya. Membangun partai bukan dengan elit politik, bukan dengan Jokowi, bukan dengan Prabowo, tapi dengan kekuatan buruh sendiri. Kekuatan buruh yang utama adalah sanggup menghentika proses produksi.
Dalam lima tahun terakhir, gerakan buruh telah membesar. Kenapa begitu lama kita membutuhkan untuk membesarkan gerakan buruh? Itu karena kita pernah mengalami jaman Suharto. Budaya berorganisasi dihancurkan, ingatan perlawanan massa dihancurkan. Kondisi kita jauh lebih parah dari kediktatoran di Amerika Latin karena penghapusan ingatan ini.
Gerakan buruh yang membesar ini adalah lapangan kita untuk menuntut yang lebih besar lagi. Bukan lagi kompromi, seperti serikat-serikat besar yang sering menipu kita. Jangan mau lagi ditipu.
***
Kira-kira begitu poin-poinnya.
Comments