Oleh Jhon Gobay
Repulik Indonesia (Indonesia). Lima tahun kepemimpinan Bapak pembangunan infrastruktur dan investasi bagi pemodal (nasional dan Internasional) akan berakhir pada pertengahan 2019. Kini Indonesia sedang memperhatikan Gedung putih—Istana Negara—tentang, siapa kah Nakoda selanjutnya.
Telah sampai di ujung timur, pulau Papua (West Papua), berita tentang duo jagoan yang akan beraduh dalam pertempuran pesta pemilihan peresiden untuk mengisi 5 tahun kursi istana. Apa kah Jokowi akan melanjutkan kisah heroiknya tentang modal dan pembangunan? Atau Prabowo di atas cerita tangan besih-nya yang berdarah-darah itu? Dua bakal calon itu tak ada bedanya bagi orang Papua.
Rakyat West Papua tahu bahwa Pilpres 2019 adalah pemilihan presiden Republik Indonesia—dan itulah tradisi pesta politik praktis Indonesia yang dikenal rakyat West Papua sejak berada dibawa dominasi Indonesia.
Jokowi dan Prabowo, dua bakal calon itu, siapa pun presiden nantinya, bagi orang Papua, adalah wajah Indonesia yang sesungguhnya. Rakyat West Papua telah dewasa mengenali wajah Indonesia yang sesungguhnya. Keberadaan sosial rakyat Papua dibawa kekuasaan Indonesia, realitasnya menjadi dasar pengetahuan empiris bagi orang Papua. Bahwa kesejahteraan Indonesia adalah mutlak bagi pemodal sehingga eksistensinya—sejak pendudukan awal dibawa pimpinan Jendral Soeharto atas perintah Presiden pertama Bung Karno; dan begitu pula setiap berganti nakoda hingga Jokowi—mengesampingkan persoalan kemanusiaan Papua. Tak ada keseriusan untuk menyelesaikan satu pun dari berbagai persoalan. Apa lagi niat baik untuk memperbaiki tatanan sosial, mensejahterahkan rakyat sebagai satu kesatuan rakyat (Pendudukan) Indonesia. Semboyang “Bineka Tunggal Ika” hanya menjadi syair hampa yang kosong, tak berisi.
Berdasarkan realita sebelumnya—yang masih berlangsung hingga saat ini—bagi Indonesia, keterlibatan Orang Papua hanya sebatas galang dukungan suara untuk keselamatan jabatan bagi para calon presiden. Selanjutnya, tak ada arti penting bagi kehidupannya selain memikul tirai derita. Penindasan yang struktural merupakan kenyamanan bagi pembangunan infrasturktur dan akses modal. Kebahagiaan dan kebebasan itu sangat mustahil bagi pemilik sekian juta kekayaan alam yang di idolakan oleh kapitalis birokat Indonesia (termasuk petinggi-pentinggi militer) dan kapitalis global.
keterlibatan orang Papua (misalkan) merupakan bukan karena memiliki kesadaran bagian dari Indonesia dan dengan begitu melupakan sejarah aneksasi (1963), kegagalan Pepera (1969) dan menerima tindakan tutup mata terhadap kemanusiannya sebagai takdir, itu tidak mungkin. rakyat Papua dipaksa mengikuti, tunduk, dan menaati semua aturan, hukum dan kemauan Indonesia oleh kekuatan yang dominan (hegemonik).
Wajarnya, orang Papua tak pernah dianggap sebagai objek manusia yang punya akal sehat dan hak untuk menentukan sesuatu atas kehendaknya. Sejak cerita pendudukan Indonesia terus diwarnai dengan pemaksaan. Pembantaian 500 ribu juta jiwa orang Papua (dalam rangkaian operasi militer sejak 1962-2004) jadi tumbal NKRI Harga Mati dan Pendudukan Freeport MC’Mooran; pepera di menangkan ABRI; orang Papua tak pernah dilibatkan sebagai Objek Politik dalam kesepakatan New York (New York Agreement, 15 Agustus 1962). Perampasan lahan pertanian dan hutan adat, pengerukan SDA tanpa memedulikan nasib keberadaan orang Papua terus dilakukan. lalu Pembunuhan, Mati Misterius, kemiskinan, gisi buruk, pendidikan yang tertinggal, kesenjangan sosial merupakan potret buram wajah Papua di Indonesia. Demo damai di hadang dan di bubarkan TNI/Polri, semua usul aspirasi ditolak oleh Negara. Para aktivis dikejar, tangkap, disiksa, diseret kedalam terali, bahkan dibunuh. Itu lah cara Indonesia kepada Orang Papua untuk menghargai NKRI.
Militeristik dan Barbarisme mejadi pola pendekatan sosial terhadap rakyat Papua, yang nyatanya masyarat tradisional yang sedang berkembang mengekuti arus global ini. Semua itu cara meng-Indonesiakan orang Papua; dan agar rakyat Papua tunduk dan taat kepada Republik Indonesia. Sehingga tak ada kesadaran murni rakyat Papua untuk terlibat dalam Pilpres, ikut dengan Indonesia selain dipaksa oleh struktur kekuasaanya.
Pilpres 2019, antara Jokowi dan Prabowo, bagi orang Papua, tak ada bedanya. Tak asing lagi rakyat Papua mendengar nama Dua bakal calon itu. Prabowo dikenal dalam catatan peristiwa berdarah di Mapenduma, Nduga pada 1996—Selain keterlibatan dalam kasus operasi militer di Timor-Timur. Dan Jokowi, bapak bertopeng Dermawan, bagi Papua merupakan tipu mislihat. Bapak berwajah Infrastruktur dan modal tanpa memedulikan persoalan kemanusiaan; dan Papua terus di isolasi. Pencurian lahan dan pengerukan kekayaan alam terus dilakukan. Bapak pembangunan bagi pemodal, kesengsarahan yang terus dipikul rakyat Papua.
Pertanyaan ikut memilih, Golput atau Boikot pilpres 2019, bagi rakyat Papua bukan hal yang, satu-satunya cara membuktikan Indonesia atau Papua Merdeka. Hal itu bukan menjadi ukuran pengujian serius berjuang “M” atau ikut Indonesia. Pilpres merupakan salah satu produk budaya (berdemokrasi) kolonial yang harus dihancurkan. Dilain sisi, Rakyat Papua dikontrol oleh kekuataan kolonial: Hukum, Pendidikan, alat Propaganda (media online, cetak, TV, dll), Militer represif dan ideologis, dan penjarah. Mereka menciptakan keberadaan sosial atas kemauan mereka untuk langgengi keselamatan akses kapital di atas tanah West Papua. Sehingga masifnya tekanan koloni Indonesia dengan berbagai pola dan tindakan merupakan hukum kontradiksi yang tak terhindarkan. Apa lagi, ini moment penting bagi NKRI untuk bagi-bagi kepuasaan, kekuasaan dan kepentingan vital di Papua.
Apun caranya, apa pun tindakan Indonesia mengikut sertakan orang Papua dalam Pesta Pilpres ini, atau keterwakilan perolehan suara dari Papua untuk Pilpres 2019, merupakan bukanlah sebuah penghargaan Indonesia kepada orang Papua untuk “memilih”. Tak benar bila hal itu dilihat sebagai sebuah ekspresi kebebasan “memilih” kepada orang Papua. Tak benar Juga bila hal itu diasumsi bahwa negara ini benar-benar demokratis dan menghargai hak seseorang dalam memilih. Tepatnya, sebut saja Pesta demokrasi (Pilpres) ini pesta baku rebut kekuasaan, bagi-bagi porsi para borjuis itu. Tetapi penindasan terus berlanjut.
Repulik Indonesia (Indonesia). Lima tahun kepemimpinan Bapak pembangunan infrastruktur dan investasi bagi pemodal (nasional dan Internasional) akan berakhir pada pertengahan 2019. Kini Indonesia sedang memperhatikan Gedung putih—Istana Negara—tentang, siapa kah Nakoda selanjutnya.
Telah sampai di ujung timur, pulau Papua (West Papua), berita tentang duo jagoan yang akan beraduh dalam pertempuran pesta pemilihan peresiden untuk mengisi 5 tahun kursi istana. Apa kah Jokowi akan melanjutkan kisah heroiknya tentang modal dan pembangunan? Atau Prabowo di atas cerita tangan besih-nya yang berdarah-darah itu? Dua bakal calon itu tak ada bedanya bagi orang Papua.
Rakyat West Papua tahu bahwa Pilpres 2019 adalah pemilihan presiden Republik Indonesia—dan itulah tradisi pesta politik praktis Indonesia yang dikenal rakyat West Papua sejak berada dibawa dominasi Indonesia.
Jokowi dan Prabowo, dua bakal calon itu, siapa pun presiden nantinya, bagi orang Papua, adalah wajah Indonesia yang sesungguhnya. Rakyat West Papua telah dewasa mengenali wajah Indonesia yang sesungguhnya. Keberadaan sosial rakyat Papua dibawa kekuasaan Indonesia, realitasnya menjadi dasar pengetahuan empiris bagi orang Papua. Bahwa kesejahteraan Indonesia adalah mutlak bagi pemodal sehingga eksistensinya—sejak pendudukan awal dibawa pimpinan Jendral Soeharto atas perintah Presiden pertama Bung Karno; dan begitu pula setiap berganti nakoda hingga Jokowi—mengesampingkan persoalan kemanusiaan Papua. Tak ada keseriusan untuk menyelesaikan satu pun dari berbagai persoalan. Apa lagi niat baik untuk memperbaiki tatanan sosial, mensejahterahkan rakyat sebagai satu kesatuan rakyat (Pendudukan) Indonesia. Semboyang “Bineka Tunggal Ika” hanya menjadi syair hampa yang kosong, tak berisi.
Berdasarkan realita sebelumnya—yang masih berlangsung hingga saat ini—bagi Indonesia, keterlibatan Orang Papua hanya sebatas galang dukungan suara untuk keselamatan jabatan bagi para calon presiden. Selanjutnya, tak ada arti penting bagi kehidupannya selain memikul tirai derita. Penindasan yang struktural merupakan kenyamanan bagi pembangunan infrasturktur dan akses modal. Kebahagiaan dan kebebasan itu sangat mustahil bagi pemilik sekian juta kekayaan alam yang di idolakan oleh kapitalis birokat Indonesia (termasuk petinggi-pentinggi militer) dan kapitalis global.
keterlibatan orang Papua (misalkan) merupakan bukan karena memiliki kesadaran bagian dari Indonesia dan dengan begitu melupakan sejarah aneksasi (1963), kegagalan Pepera (1969) dan menerima tindakan tutup mata terhadap kemanusiannya sebagai takdir, itu tidak mungkin. rakyat Papua dipaksa mengikuti, tunduk, dan menaati semua aturan, hukum dan kemauan Indonesia oleh kekuatan yang dominan (hegemonik).
Wajarnya, orang Papua tak pernah dianggap sebagai objek manusia yang punya akal sehat dan hak untuk menentukan sesuatu atas kehendaknya. Sejak cerita pendudukan Indonesia terus diwarnai dengan pemaksaan. Pembantaian 500 ribu juta jiwa orang Papua (dalam rangkaian operasi militer sejak 1962-2004) jadi tumbal NKRI Harga Mati dan Pendudukan Freeport MC’Mooran; pepera di menangkan ABRI; orang Papua tak pernah dilibatkan sebagai Objek Politik dalam kesepakatan New York (New York Agreement, 15 Agustus 1962). Perampasan lahan pertanian dan hutan adat, pengerukan SDA tanpa memedulikan nasib keberadaan orang Papua terus dilakukan. lalu Pembunuhan, Mati Misterius, kemiskinan, gisi buruk, pendidikan yang tertinggal, kesenjangan sosial merupakan potret buram wajah Papua di Indonesia. Demo damai di hadang dan di bubarkan TNI/Polri, semua usul aspirasi ditolak oleh Negara. Para aktivis dikejar, tangkap, disiksa, diseret kedalam terali, bahkan dibunuh. Itu lah cara Indonesia kepada Orang Papua untuk menghargai NKRI.
Militeristik dan Barbarisme mejadi pola pendekatan sosial terhadap rakyat Papua, yang nyatanya masyarat tradisional yang sedang berkembang mengekuti arus global ini. Semua itu cara meng-Indonesiakan orang Papua; dan agar rakyat Papua tunduk dan taat kepada Republik Indonesia. Sehingga tak ada kesadaran murni rakyat Papua untuk terlibat dalam Pilpres, ikut dengan Indonesia selain dipaksa oleh struktur kekuasaanya.
Pilpres 2019, antara Jokowi dan Prabowo, bagi orang Papua, tak ada bedanya. Tak asing lagi rakyat Papua mendengar nama Dua bakal calon itu. Prabowo dikenal dalam catatan peristiwa berdarah di Mapenduma, Nduga pada 1996—Selain keterlibatan dalam kasus operasi militer di Timor-Timur. Dan Jokowi, bapak bertopeng Dermawan, bagi Papua merupakan tipu mislihat. Bapak berwajah Infrastruktur dan modal tanpa memedulikan persoalan kemanusiaan; dan Papua terus di isolasi. Pencurian lahan dan pengerukan kekayaan alam terus dilakukan. Bapak pembangunan bagi pemodal, kesengsarahan yang terus dipikul rakyat Papua.
Pertanyaan ikut memilih, Golput atau Boikot pilpres 2019, bagi rakyat Papua bukan hal yang, satu-satunya cara membuktikan Indonesia atau Papua Merdeka. Hal itu bukan menjadi ukuran pengujian serius berjuang “M” atau ikut Indonesia. Pilpres merupakan salah satu produk budaya (berdemokrasi) kolonial yang harus dihancurkan. Dilain sisi, Rakyat Papua dikontrol oleh kekuataan kolonial: Hukum, Pendidikan, alat Propaganda (media online, cetak, TV, dll), Militer represif dan ideologis, dan penjarah. Mereka menciptakan keberadaan sosial atas kemauan mereka untuk langgengi keselamatan akses kapital di atas tanah West Papua. Sehingga masifnya tekanan koloni Indonesia dengan berbagai pola dan tindakan merupakan hukum kontradiksi yang tak terhindarkan. Apa lagi, ini moment penting bagi NKRI untuk bagi-bagi kepuasaan, kekuasaan dan kepentingan vital di Papua.
Apun caranya, apa pun tindakan Indonesia mengikut sertakan orang Papua dalam Pesta Pilpres ini, atau keterwakilan perolehan suara dari Papua untuk Pilpres 2019, merupakan bukanlah sebuah penghargaan Indonesia kepada orang Papua untuk “memilih”. Tak benar bila hal itu dilihat sebagai sebuah ekspresi kebebasan “memilih” kepada orang Papua. Tak benar Juga bila hal itu diasumsi bahwa negara ini benar-benar demokratis dan menghargai hak seseorang dalam memilih. Tepatnya, sebut saja Pesta demokrasi (Pilpres) ini pesta baku rebut kekuasaan, bagi-bagi porsi para borjuis itu. Tetapi penindasan terus berlanjut.
Comments