West Papua Darurat kebebasan berekspresi, Papua makin disorot
Melalui Medsos, khusunya di Facebook, banyak hal yang seringkali di temukan; Khususnya Pembatasan Kebebasan berekspresi dan berserikat. Hal ini yang kemudian menjadi sorotan dari berbagai negara di dunia.
Terlepas dari laporan yang ada, tanggal 19/12/16. Seluruh rakyat Papua di Papua maupun di luar Papua, bersama Front Rakyat Indonesia untuk West Papua peduli akan Hak Penentuan Nasib Sendiri, akan mengelar Aksi Nasional. Dengan agenda nasional hari manifesto politik Papua barat 1961 tepatnya tanggal, 1 Desember 1961 dan pencaplokan kekuasaan politik, 19 Desember, 1961 yang di kumandangkan oleh Ir. Soekarno Hatta atas hari Kemerdekaan Papua barat dan Mendorong ULMWP Menjadi Anggota Penuh MSG.
"Sehingga berdasarkan sikon yang ada, bahwa untuk saat ini kita bisa buat prediksi sendiri, bahwa apa kha besok akan ada penangkapan dan pemenjaraan besar-besaran atau kha tidak". Zeus.
Sebagai laporan dari Tabloid Jubi di bahwa ini, bahwa untuk saat ini Kondisi memburuknya kebebasan berekspresi dan berpendapat di Papua mendapat sorotan dari Setara Institut di Jakarta dan mekanisme Universal Periodic Report (UPR) Dewan HAM PBB.
Setara Institut mencatat turunnya skor pada variabel kebebasan berekspresi dan berserikat di Indonesia khususnya dipicu oleh meningkatnya pembatasan kebebasan berekspresi melalui praktik kriminalisasi terhadap aktivis HAM, warga Papua, dan jurnalis.
“Skor kebebasan berekspresi dan berserikat turun 0,08 persen, dari 2,18 di tahun 2015 menjadi 2,10 di tahun 2016,” ujar Ahmad Fanani Rosyidi, peneliti HAM Setara Institut kepada Jubi Rabu (14/12/2016).
SETARA Institute mencatat Papua menjadi daerah darurat Kebebasan berekspresi dengan membukukan 29 orang yang mengalami kriminalisasi, 2.397 orang ditangkap saat berunjuk rasa, 13 orang dibunuh, 68 orang ditembak, dan 2 peristiwa percobaan pembunuhan.
“Skor tersebut kami tetapkan berdasarkan hasil survey 202 responden, mayoritas dari kalangan akademik dan sisanya dari kalangan penggiat HAM, aktivis dan tokoh masyarakat. Data-data Papua kami dapatkan dari berita media dan laporan-laporan sepanjang 2016, sehingga kami bisa simpulkan sebagai situasi darurat kebebasan berekspresi di Papua,” ungkapnya.
Fanani juga menyoroti hingga September 2016 masih terdapat 41 orang tahanan politik di Papua.
Terpisah, menurut database Universal Periodic Report (UPR) terbaru yang dikeluarkan Dewan HAM PBB, kondisi kebebasan berekspresi di Indonesia disoroti oleh setidaknya tujuh negara.
Republik Korea meminta agar Indonesia memfasilitasi masuknya Special Rapporteur on Freedom of Expression, Swiss, Australia, dan Perancis juga demikian sambil menekankan perlindungan terhadap para pembela HAM dan pengadilan kejahatan HAM.
Secara khusus, Jerman, Amerika Serikat dan Kanada secara khusus menyoroti Indonesia atas penggunaan pasal makar 106 dan 110 untuk menghambat kebebasan berekspresi.
“Khususnya di Papua, harus diambil langkah untuk meningkatkan perlindungan pembela ham dari stigma, intimidasi, dan serangan lainnya untuk menjamin kebebasan berekspresi dan protes damai, termasuk meninjau ulang semua regulasi yang dapat digunakan untuk menghambat kebebasan berekspresi khususnya pasal 106 dan 110 di KUHP, serta membebaskan semua tahanan politik yang melakukan aktivitas politik damai,” demikian rekomendasi dari
Comments